Pilkada Sleman 2024, NU Kemana?

- June 01, 2024


Pilkada Sleman 2024 Kemana NU? 

Oleh : Wiratno

Tahapan-tahapan Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan digelar pada bulan November 2024 telah dimulai pun demikian dengan Sleman, KPUD Kabupaten Sleman telah memulai tahapan tersebut dengan pembentukan PPK, PPS dan KPPS yang dimulai pada tanggal 17 April 2024 . Hal ini selaras dengan amanat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota Menjadi Undang Undang (UU Pilkada). Pada Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada disebutkan bahwaPemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.  

Sejalan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI) kemudian secara resmi mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024. Dimana pelaksanaan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak ini akan dilaksanakan, Rabu 27 November 2024 mendatang. 

Dalam konstelasi Pilkada tahun 2024 ini, salah satu ormas keagaamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), mulai dilirik oleh partai politik dan bakal calon bupati maupun wakil bupati untuk dijadikan penyokong utama perhelatan demokrasi lima tahunan tersebut. Kekuatan NU di Kabupaten Sleman sangat menarik dan seksi dan merupakan salah satu basis suara yang harus diperhitungkan, jika mengacu pada hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2023, orang Indonesia yang mengaku NU adalah 56,9 persen dari seluruh penduduk Indonesia 280 juta, atau sekitar 156.80 juta warga NU di Indonesia. Jika angka ini di breakdown di Kabupaten Sleman dengan jumlah penduduk 1.318.086 makan warga NU di Kabupaten Sleman sebanyak 772.800 sebuah angka yang cukup besar. 

NU di Sleman memang besar dengan asumsi data diatas, namun klaim tersebut belum dibuktikan secara akademis dengan perhitungan data yang akurat, sebab hingga kini belum ada survei yang dilakukan baik internal NU maupun lembaga survei yang secara khusus melakukan penelitian tentang NU dk Kabupaten Sleman, boleh jadi dikatakan besar karena banyaknya pesantren, madrasah di Kabupaten Sleman, begitu juga masih banyak masyarakat yang konsisten melaksanakan amaliah dan tradisi NU seperti tahlilan, sholawatan, kenduri dll. 

Kendati demikian dominasi kelompok abangan justru lebih kentara jika dilihat dari afiliasi politik mereka yang kebanyakan di PDIP sebagai pemenang perolehan suara pileg 2024, meskipun banyak juga orang NU yang berlabuh di PDIP. Pun demikian dengan suara muhammadiyah meskipun dari sisi jumlah mungkin lebih sedikit namun selama ini memiliki peran yang cukup besar terutama di birokrasi. 

Faktor keunggulan kualitatif pengikut NU ini, menjadi semacam keyakinan diri di internal Nahdliyyin bahwa seharusnya kepemimpinan lokal merupakan "hak" NU. Namun catatan-catatan sejarah dalam perhelatan pesta demokrasi pilkada di Kabupaten Sleman justru menunjukkan hal sebaliknya. Sejak reformasi digulirkan belum pernah tampuk kepemimpinan Sleman diampu oleh wakil dari nahdliyin. Pernah memang ada tahun 2000, ketika pasangan Ibnu Subiyanto - Zaelani (representasi dari NU)  yang diajukan Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi PKB terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sleman periode tahun 2000-2005, melalui pemilihan oleh anggota DPRD Sleman. Meski Zaelani merupakan kader NU menjadi wakil bupati namun ternyata keberadaan wakil NU di kekuasaan tersebut dirasa tidak banyak memberikan kontribusi ke Jamyiah NU. 

Khittah NU 

Sudah jamak diketahui bahwa keputusan NU kembali ke khittah, ketika NU memutuskan meninggalkan politik praktis pada 1983 dan kembali fokus menjalankan tugas sosial sesuai khittah 1926, merupakan penegasan komitmen sterilisasi NU dari politik praktis. Pengalaman sejarah sepertinya telah cukup memberi pelajaran (iktibar) penting bagi NU bahwa mengikuti syahwat politik atas nama keummatan hanya akan menyisakan terbengkalainya kewajiban mengurusi umat. Keputusan kembali ke khittah yang disepakati pada Muktamar 27 di Situbondo 1983 menjadi titik awal peneguhan kembali NU sebagai jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah. Netralitas ini pada gilirannya sedikit ternodai ketika para kiai NU tak kuasa membendung hasrat mendirikan partai politik sendiri sebagai ekses uforia reformasi 1998 ketika kran dibuka selebar-lebarnya bahkan puluhan partai-partai barupun bermunculan. Meski sempat menolak namun PBNU akhirnya tak kuasa bahkan terlibat aktif memprakarsai berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 1998. Fakta historisitas kelahiran PKB yang unik dan tidak dialami oleh parpol lainnya ini membuat NU-PKB seperti 2 sisi mata uang, kala itu. 

Komitmen emoh politik praktis ini bukan berarti NU abai terhadap realitas anggotanya yang ingin berkecimpung di partai politik, dengan PKB hal tersebut sebagi pembuktian. Secara organisatoris pada muktamar 28 di Krapyak Yogyakarta tahun 1989, sejatinya NU mengeluarkan 9 butir pedoman berpolitik warga NU. Dalam pedoman tersebut, PBNU memberikan kebebasan warganya untuk terlibat dalam politik praktis sepanjang dilandasi dengan nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh NU. 

Demikian pula dengan NU di Kabupaten Sleman, sejarah mencatat pada pemilihan bupati melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung untuk pertama kali di Indonesia pada tahun 2005,  ketika itu seorang kader NU (Hafidz Asram) dan seorang yang secara kultural orang NU dan memiliki banyak koneksi di NU (Sukamto) bertarung demi memuaskan syahwat politiknya bersama dengan 2 pasangan calon lainnya sehingga suara NU pecah, hasilnya pemenangnya adalah Ibnu Subiyanto yang berasal dari abangan dan kader PDIP yang berpasangan dengan kader Muhammadiyah (Sri Purnomo). Pengalaman pahit tersebut harus terulang lagi pada pilkada tahun 2010 dimana 2 kader NU (Hafidz Asram) dan Zaelani yang pernah menjadi wakil bupati kembali turun gelanggang memenuhi ambisinya untuk menjadi bupati, serta Sukamto yang pada periode sebelumnya memperoleh suara yang signifikan juga masih berhasrat menjadi bupati, akibatnya warga nahdliyin semakin tercerai berai dan terkotak-kotak, hasilnya sudah pasti bisa ditebak, NU kembali harus gigit jari. 

Pengalaman pahit di dua pilkada tersebut kemudian menurunkan tensi syahwat NU dalam bermain di ranah poltik, terbukti pada pilkada tahun 2015 tidak ada kader NU yang mencalonkan diri sebagai cabup maupun cawabup, meski secara semi transparan NU secara struktural mendukung salah satu calon yang bertarung dalam pilkada tahun 2015 terbukti dengan jaringan NU yang cukup masif bergerak dengan dikomandani 17 Kyai sepuh, sedangkan saat itu justru PKB sebagai anak biologis NU mendukung pasangan Sri Purnomo – Sri Muslimatun yang kemudian memenangkan pilkada tahun 2015. 

Pada pilkada tahun 2020 NU Sleman secara struktural kembalimengurusipolitik dengan membentuk sebuah Tim adhoc yang bertugas mengurusi politik utamanya dalam konteks pilkada, dibentuknya Tim ini sebagai upaya untuk menjaga netralitas NU dari tuduhan terlibat dalam politik praktis, dengan kata lain Tim ini menjadibemper’. Agar Tim ini bekerja maksimal NU kemudian menggandeng PKB sebagaisayappolitik NU dengan komposisi anggota 5 dari unsur NU dan 4 dari unsur PKB yang akhirnya dinamai Tim 9 (sembilan), dalam perjalanannya Tim 9 di Kabupaten Sleman pada pilkada 2020 ini kemudian mengusung Danang Wicaksono Sulistya dari Gerindra dan R Agus Choliq kader NU dari PKB, meski suara NU kala itu cukup solid, pada akhirnya pasangan ini juga kalah dari pasangan Kustini Sri Purnomo – Danang Maharsa koalisi PDIP-PAN serta Sri Muslimatun – Amin Purnomo . Kekalahan ini menambah deretan panjang kekalahan yang bertubi-tubi, salah satu faktor yang kemudian berhasil diidentifikasi adalah bahwa NU itu sulit dibariskan, dari sisi kultural ketika itu muncul jaringan kyai tahlil meski tidak banyak tetapi membawa dampak lemahnya soliditas NU. bahkan di internal Tim 9 pun akhir muncul tuduhan bukan Tim 9 tetapi 9 Tim, karena anggota tim terkesan berjalan sendiri.        

Pilkada 2024 

Dari sejarah buruk NU yang tidak berhasil menempatkan kadernya di jajaran birokrasi khususnya dalam kontestasi pilkada, seharusnya menjadi pelajaran bersama bagi seluruh pemangku kepentingan di NU, baik pengurus secara struktural hingga ke badan otonom (banom) NU, demikian pula bagi kader-kader NU yang tersebar di berbagai partai politik. Seluruh komponen NU harus menyadari bahwa kepentingan NU yang lebih besar harus didukung bersama, menjaga marwah NU adalah salah satunya, jangan hanya mementingkan syahwat politik pribadi maupun kelompok yang ujung-ujungnya hanya pragmatisme sempit dan hanya mendapatkan receh. Seharusnya tokoh-tokoh dan warga NU mengingat kembali pesan luhur dari pendiri NU Hadratussyaikh KH Hayim Ashari 'ojo golek urip neng NU, isoo ngurip-urip NU'. Pesan tersebut harus ditamankan dalam sanubari kader-kader NU jika ingin sukses membawa kejayaan NU. Berpijak pada paparan di atas, setidaknya ada 3 (tiga) kemungkinan langkah yang bisa diambil oleh NU Sleman dalam merespon perhelatan pilkada 27 November 2024 yang akan datang: 

Pertama, NU di Sleman memilih netral secara kelembagaan dan meminta pengurus-pengurusnya hingga level terendah menjauhi hiruk pikuk pemilihan bupati yang akan datang. Pilihan ini nampaknya cukup sulit terealisasi mengingat NU akan kesulitan memastikan instruksinya dipatuhi ditengah semakin tingginya sikap pragmatis di kalangan tokoh dan warganya, meski sejatinya sikap ini jauh lebih 'aman' karena siapapun calon yang jadi NU tidak punya beban politik. 

Kedua, NU melakukan "politik kamuflase" dengan cara bersikap netral di permukaan namun melakukan operasi senyap untuk mendukung pasangan tertentu. Opsi ini telah dilakukan oleh PCNU Sleman dengan membentuk Tim 9 pada pilkada 2020 lalu, dan opsi ini ternyata dilakukan kembali dengan modifikasi dan mengakomodir elemen-elemen inti NU tanpa melibatkan unsur dari partai politik, meski tim adhoc ini sama namun beda nama tidak dinamai tim 9 tetapi Tim Komunikasi Politik PCNU yang ditugaskan menangani hal-hal yang berkaitan dengan pilkada 2024, meskipun pilkada yang lalu mengalami kegagalan. Strategi kedua ini jamak dilakukan terutama untuk mensiasati potensi tudingan publik bahwa NU melanggar khittah 1926, dan jika terjadi kekisruhan politik maka sudah disiapkankambing hitamnya yaitu Tim yang dibentuk NU. Pendek kata, meski para pengurusnya berjumpalitan sebagai salah satu tim sukses pasangan namun publik sepertinya dipaksa menerima klaim bahwa NU tetap netral. 

Ketiga, NU bergerak secara langsung secara struktural dalam mendukung salah satu pasangan calon melalui mekanisme dan prosedur penjaringan aspirasi yang demokratis dan terbuka dengan melibatkan seluruh jaringan mulai dari anak ranting, ranting, MWC dan badan otonom yang ada di kepengurusan NU. Meski bukan satu-satunya faktor yang mampu memenangkan cabup maupun cawabup namun strategi ini terbukti berhasil meloloskan Ki Enthus Susmono menjadi bupati Tegal pada pilkada 2013, yang kemudian dilanjutkan oleh Umi Azizah dan Sabilillah Ardi dengan strategi yang sama. Ijtihad politik NU Tegal dalam pilkada ini tidak kemudian NU turun tangan secara langsung tetapi tetap menggunakan sayap politiknya yaitu PKB, dengan demikian PKB lah yang mengurusi urusan politik praktis, sehingga di Kabupaten Tegal antara NU dan PKB dapat dikatakan