July 29, 2006

Melihat aib sendiri....

Diantara akhlak mereka adalah tidak mengurusi kekurangan orang lain, melainkan berkaca pada kekurangan yang ada pada diri mereka sendiri,

Diantara akhlak mereka adalah tidak mengurusi kekurangan orang lain, melainkan berkaca pada kekurangan yang ada pada diri mereka sendiri, mengamalkan Firman Allah (SWT):
"Dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu lidak memperhalikan." (adz-Dzariyat : 21)
Juga mengamalkan hadits: "Beruntunglah bagi orang yang mengurusi aibnya sendiri dari pada aib orang lain." Begitu pula orang yang mencari tahu aib orang termasuk golongan syetan, yaitu jauh dari rahmat Allah (SWT) dan kekasih Allah (SWT) tidak merelakan dirinya menjadi demikian.
Zaid al-Qummi berkata: "Aku membaca dalam sebagian kitab suci Allah swt. berfirman: 'Hai anak Adam, aku menjadikan untukmu dua keranjang, satu keranjang di depanmu dan satu lagi di belakangmu. Keranjang yang ada di belakangmu di dalamnya adalah aib-aibmu sedangkan yang ada di depanmu, adalah aib aib orang lain. Maka jika kamu melihat yang di belakangmu tentu kamu tidak mengurusi yang di depanmu." Ia juga berkata: "Seseorang di antara kamu meyakini aibnya sendiri, namun demikian ia menyukainya dan membenci saudara sesama Muslim atas prasangka. Maka di manakah akalnya?"

Bakar bin Abdullah al-Mazni berkata: "Apabila kalian melihat orang yang mengurusi aib orang lain maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang musuh Allah swt. dan Allah swt. telah memperdayainya."
Bisyr al-Hafi berkata: "Suatu hal yang mengherankan manusia jika ada seseorang yang melanggar kehormatan saudaranya di belakang tetapi di depannya menampakkan diri mencintainya dan memujinya. Barang siapa menyangka bahwa Allah swt. mencintainya, sementara ia di belakang menjatuhkan kehormatan orang lain maka ia berdusta, sebab ia hakikatnya adalah syetan dan syetan adalah musuh Allah swt."

Yahya bin Muadz berkata: "Di antara keberakalan orang berakal adalah bahwa ia tidak mencela karena satu dosa. Sebab mungkin aku mencela seseorang dengan dosanya lalu aku mengalami dosa itu setelah dua puluh tahun."
Dikisahkan bahwa Isa a.s. berkata: "Janganlah melihat pada keburukan orang seakan kalian yang berkuasa, tapi lihatlah keburukan-keburukan kalian. Sebab kalian adalah hamba. Sebab manusia ada dua yaitu yang mendapat cobaan dan yang selamat dari cobaan. Maka bersabarlah jika mendapat cobaan dan bersyukurlah kepada Allah swt. jika memperoleh keselamatan."
Rabiah Adawiyah berkata: "Sesungguhnya apabila hamba merasakan cinta kasih Allah swt., maka dia memperlihatkan keburukan-keburukan amal perbuatannya lalu ia memperdulikannya, tidak mengurusi kesalahan orang lain."

Mujahid berkata: "Seandainya sebuah gunung berbuat jahat terhadap gunung lainnya tentu yang berbuat jahat itu akan berguncang."
(Saya katakan) Di antara yang seyogyanya dipahami adalah sikap berserah diri seorang hamba, kepada Allah swt. bahwa orang yang berbuat zalim akan dibinasakan dengan kezalimannya. Yang demikian itu lebih besar kebinasaamya dari pada menghadapinya dengan perlawanan keras secara lahiriah. Apabila itu ditinggalkan secara lahiriah, hadapilah dengan yang lebih keras dalam batin. Maka bagi orang yang diperlakukan tidak baik hendaknya tidak membalas dengan perbuatan yang sama melainkan memohon kepada Allah agar tidak dibalas karenanya. Wallahu a'lam
Amirul Mu'minin Umar bin Khattab r.a. berkata: "Semoga Allah swt. memberi rahmat kepada orang yang mau menunjukkan keburukanku."
Abdullah at-Taimi berkata: "Orang tidak mencela orang lain kecuali ia mempunyai kelebihan cela."
Asy-Sya'bi berkata: "Barang siapa mencari-cari keburukan orang lain maka ia tetap tidak punya teman."

Dikisahkan bahwa orang-orang datang kepada Amirul Mu'minin Ali r.a. dengan membawa seorang laki-laki yang mempunyai kesalahan sementara orang-orang di sekelilingnya banyak sekali seperti kerumunan belalang. Lalu Ali berkata kepada mereka: "Demi Allah, bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan ini di antara kamu hendaklah pergi." Lalu mereka semua pergi. Maka peliharalah lisan Anda, saudaraku. Sebab orang yang merobek saku orang, mereka akan menyobek sakunya. Janganlah melupakan diri anda. apabila anda melihat keburukan saudara seagama anda, melainkan wajib bagi anda menjadikan itu pengingatakan keburukan anda sendiri. Sebab percikan Lumpur yang dapat mengenai orang lain, dapat juga mengenai anda. Dalam hadits dikatakan: "Barang siapa mencela saudaranya karena suatu dosa maka ia tidak meninggal dunia hingga ia melakukan dosa itu."
(Saya katakan) Apabila Allah memperlihatkan anda keburukan seseorang melalui penyingkapan rahasia, maka beristighfar lah kepada Allah swt., sebab itu hakikatnya adalah penyingkapan syetan.

Dermawan dan Berkepribadian Kokoh di antara akhlak mereka adalah banyak memberi dan memiliki kepribadian kuat, sebagai pengamalan akhlak Rasulullah saw., para sahabatnya, dan para 'ulama yang salih. Orang yang tidak memiliki sifat kedermawanan dan kepribadian yang kuat tidak ada padanya kebaikan meskipun orang itu ahli ibadah.
Hasan Bisri pernah ditanya tentang kepribadian yang kuat, lalu ia menjawab: "Itu ialah meninggalkan yang tercela di sisi Allah swt. dan di sisi manusia."
Para ulama telah sepakat mengenai keharusan berkepribadian kuat dan bersikap dermawan dalam menempuh jalan menuju kepada Allah swt. Tidak memiliki dua sifat itu adalah salah satu tanda orang munafik.

Dalam hadits dikatakan, "Dan akan datang suatu masa kepada manusia di mana kepribadian yang kokoh telah menjadi langka, akhlak diabaikan dan laki-laki berhasrat pada laki-laki dan perempuan berhasrat pada perempuan. Apabila yang demikian telah ada maka nantikan adzab pagi dan sore."
Amir bin Ash r.a. pernah ditanya tentang pribadian yang kokoh, apa sebenarnya? Ia menjawab: "Itu adalah memahami benaran dan bergaul dengan saudara (sesama manusia) dengan baik."
Sari as-Saqati berkata: "Kepribadian kuat adalah menjaga jiwa dari kotoran-kotoran dari segala sesuatu yang mencemari pergaulan hamba di kalangan manusia serta memperlakukan manusia dengan adil dalam segala bentuk pergaulan. Barang siapa menambah dari yang demikian maka ia adalah seorang yang berlebihan."

Rabiah r.a. berkata: "Tidak termasuk kepribadian kuat jika seorang pedagang mengambil keuntungan dari teman dekatnya."
(Saya katakan) Sebaliknya, kepribadian kuat pada pedagang adalah jika ia rela mengambil keuntungan sedikit dari teman dekatnya, bukan tidak mengambil keuntungan sama sekali, sebab berdagang adalah mencari keuntungan duniawiah maupun akhirat.

Abu Abdullah Muhammad bin Araq ditanya tentang kepribadian yang kuat, apa itu? Ia menjawab: "Adalah Anda tidak melakukan perbuatan yang membuat Anda malu di dunai dan akhirat."
Abu Hurairah r.a. apabila ditanya tentang kepribadian yang kuat menjawab: "Itu adalah makan siang dan makan malam di halaman rumah bukan di dalamnya."

Hasan bin Kaisam menulis pada pintu rumahnya " Barang siapa masuk makan." Kaum salaf apabila salah seorang diantara mereka meminjam ketel untuk masak maka ketika mengembalikannya diisi penuh dengan makanan. Kadang kadang pemiliknya meminjamkannya dengan diisi makan dan mengatakan bahwa ia tidak suka meminjamkannya kosong. Al-Ashmu'i pernah ditanya tentang kepribadian yang kuat ia menjawab: "Makan yang disuguhkan, lisan yang manis tutur katanya, harta yang dibelanjakan, menahan diri dengan baik terhadap dosa dan menahan perilaku menyakitkan."

Bicaralah yang baik......

Di antara akhlak mereka adalah banyak lapar dan tidak sampai kenyang bilamana makan, yang demikian itu untuk memperbanyak diam dan mengurangi bicara dan kelebihan canda mereka, seperti halnya para Ulama yang mengamalkan agama. Sebab orang yang tentang hal hal yang tidak bermakna.
Muhammad Rahibi berkata: "Barang siapa memasukkan makanan lebih dari yang dibutuhkan maka lisannya mengeluarkan bicara yang tidak dibutuhkan pula."

Sufyan ats Tsauri berkata: "Melempar orang dengan panah lebih ringan dari pada dengan lisan (kata kata)."
Imam Syafi'i (ra) berkata: "Kata kata itu ibarat panah bilamana keluar dari kamu maka ia menguasai kamu."
Jabir bin Abdullah (ra) ia bertanya kepada Nabi (SAW): "Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan padaku?" Beliau menjawab: "Ini", sambil menunjuk pada lisannya.
Ibrahim an Nakhi berkata: "Barang siapa merenung ia menemukan orang yang paling mulia dalam majelis dan paling berwibawa, yaitu orang yang paling banyak diam karena diam adalah hiasan orang alim dan kelambu bagi orang bodoh."

Wahib bin Ward berkata: "Keselamatan jiwa ada sepuluh bagian, sembilan di antaranya ada pada diam, dan satunya ada pada lari dari manusia." Mansur bin Mu'tamir berdiam diri empat Puluh tahun tanpa bicara setelah Isya sesuatu yang tidak berguna."
Hasan Basri berkata: "Sungguh mengherankan, anak Adam yang diberi lisan justru berbicara hal hal yang tidak penting baginya!"
Rabi' bin Khaitsam selama dua puluh tahun sebelum ia meninggal tidak berbicara dengan pembicaraan ahli dunia. Hasan bin Sinan pernah secara tidak sengaja berbicara hal hal yang tidak bermakna lalu ia menghukum diri dengan berpuasa selama satu tahun. Hammad bin Salamah bilamana mengucapkan kata kata yang tidak berguna ia mengucap: "Semoga Allah menghukum atas kata kata itu, Subhanallah walhamdulillahi wa la i1aha illallah wallahu akbar." Ia juga mengatakan bahwa orang orang salih itu tidak menyukai pembicaraan urusan dunia dalam suatu majlis tanpa disertai dengan pembicaraan kebaikan.

Mauriq al Ajah berdiam diri selama dua puluh tahun belajar diam hingga ia dapat menahan diri dari perkataan yang tidak berguna.
Ma'ruf al Karkhi berkata: "Perkataan seorang dengan sesuatu yang tidak bermakna merupakan penghinaan Allah terhadap orang itu."
Malik bin Dinar berkata: "Perkataan tidak bermakna mengeraskan hati, melemahkan badan dan menyulitkan rizki."

Fadhil bin Iyadh berkata: "Dengan lisan kepala dipelihara."
Basyar al Hafi adalah seorang yang sedikit bicara, dan ia berkata kepada para sahabatnya: "Lihatlah apa, yang terisi dalam catatan amal perbuatan kalian, sesungguhnya itu akan dibacakan kepada Tuhan kalian. Maka celakalah bagi orang yang berbicara keburukan. Seandainya salah seorang diantara kalian mengatakan kata kata yang mengandung keburukan kepada saudaranya, tentu itu karena ia tidak punya malu padanya, maka, bagaimanakah pada Allah (SWT)".

Rabi' bin Khaitsam bilamana pagi tiba ia mengambil kertas dan pena, lalu setiap kali berbicara sesuatu yang tidak bermakna ia bermawas diri di sore hari. Ia berkata bahwa Abu Bakar (ra) meletakkan batu di mulutnya dan ia melakukan demikian beberapa tahun hingga terbiasa sedikit bicara. Ia tidak mengeluarkan batu itu kecuali saat makan dan shalat, karena khawatir berbicara hal hal yang tidak penting. Kemudian ketika wafat ia mengeluarkan batu dari mulutnya.

Imam Malik apabila melihat seseorang yang banyak bicara, berkata: "Tahanlah sebagian kata katamu."
Yunus bin Ubaid berkata: "Meninggalkan perkataan yang tidak penting lebih berat dari pada puasa seharian. Sebab seseorang mungkin tahan berpuasa dihari panas kering tetapi tidak tahan meninggalkan kata kata yang tidak berguna."