Sejalan dengan Perpu No.1 Th 2014 yang telah disahkan oleh Pemerintah dan DPR menjadi UU No.1 Th. 2015 (UU Pilkada), maka Pilkada di Kabupaten Sleman akan dihelat pada 9 Desember 2015 mendatang, namun tahapan-tahapannya sudah dimulai sejak Juni 2015. Dalam konstelasi kekuatan NU di Sleman merupakan salah satu basis yang harus diperhitungkan, kendati dominasi kelompok abangan lebih kentara dan muhammadiyah meskipun dari sisi jumlah mungkin lebih sedikit namun selama ini memiliki peran yang cukup besar terutama di birokrasi. NU di Sleman boleh jadi besar, namun klaim tersebut belum dibuktikan dengan data, sebab hingga kini belum ada survei yang dilakukan baik internal NU maupun lembaga survei, boleh jadi dikatakan besar karena banyaknya pesantren, madrasah dan masyarakat yang masih konsisten melaksanakan amaliah dan tradisi NU.
Faktor keunggulan kualitatif pengikut ini menjadi semacam keyakinan diri di internal Nahdliyyin bahwa seharusnya kepemimpinan lokal merupakan "hak" NU. Namun catatan sejarah masih menunjukkan hal sebaliknya. Sejak reformasi digulirkan belum pernah tampuk kepemimpinan Sleman diampu oleh wakil dari nahdliyin. Saat bupatinya Ibnu Subiyanto NU pernah menempatkan kadernya sebagai wakil bupati (Zaelani) yang pada saat itu bupati dan wakil bupati dipilih oleh DPRD, meskipun demikian ternyata keberadaan wakil NU di kekuasaan dirasa tidak banyak memberikan kontribusi ke Jamyiah NU.
Sudah jamak diketahui bahwa keputusan NU kembali ke khittah merupakan penegasan komitmen sterilisasi NU dari politik praktis. Pengalaman sejarah sepertinya telah cukup
memberi pelajaran (iktibar) penting bagi NU bahwa mengikuti syahwat politik atas nama keummatan hanya akan menyisakan terbengkalainya kewajiban mengurusi umat. Keputusan kembali ke khittah yang disepakati pada Muktamar 27 di Situbondo menjadi titik awal peneguhan kembali NU sebagai jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah. Netralitas ini pada gilirannya sedikit ternodai ketika para kiai NU tak kuasa membendung hasrat mendirikan partai politik sendiri sebagai ekses uforia reformasi. Meski sempat menolak namun PBNU akhirnya tak kuasa bahkan terlibat aktif memprakarsai berdirinya PKB pada tahun 1998. Fakta historisitas kelahiran PKB yang unik dan tidak dialami oleh parpol lainnya ini membuat NU-PKB seperti 2 sisi mata uang, kala itu.
Komitmen emoh politik praktis ini bukan berarti NU abai terhadap realitas anggotanya yang ingin berkecimpung di partai politik. Secara organisatoris pada muktamar 28 di Krapyak Yogyakarta, NU mengeluarkan 9 butir pedoman berpolitik warga NU. Dalam pedoman tersebut, PBNU memberikan kebebasan warganya untuk terlibat dalam politik praktis sepanjang dilandasi dengan nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh NU.
Demikian pula dengan NU Sleman, sejarah mencatat pada pemilihan bupati Sleman 2005 seorang kader NU (Hafidz Asram) dan seorang yang memilki banyak koneksi di NU (Sukamto) bertarung demi memuaskan syahwat politiknya bersama dengan 2 pasangan calon lainnya sehingga suara NU pecah, hasilnya pemenangnya adalah Ibnu Subiyanto yang berasal dari abangan dan kader PDIP. Pengalaman pahit tersebut harus terulang lagi pada pilkada tahun 2010 dimana 2 kader NU (Hafidz Asram) dan Zaelani yang pernah menjadi wakil bupati kembali turun gelanggang memenuhi ambisinya untuk menjadi bupati, serta Sukamto yang pada periode sebelumnya memperoleh suara yang signifikan juga masih berhasrat menjadi bupati, akibatnya warga nahdliyin semakin tercerai berai dan terkotak-kotak, hasilnya sudah pasti bisa ditebak, NU kembali harus gigit jari.
Pengalaman pahit di dua pilkada terebut seharusnya menjadi pelajaran bersama, harusnya nahdliyin mengingat kembali pesan luhur dari pendiri NU Hadratussyaikh KH Hayim Ashari 'ojo golek urip neng NU, isoo ngurip-urip NU'. Pesan tersebut harus ditamankan dalam sanubari kader-kader NU jika ingin sukses membawa kejayaan NU. Berpijak pada paparan di atas, setidaknya ada 3 kemungkinan langkah yang bisa diambil oleh NU Sleman dalam merespon perhelatan pilkada Desember 2015 yang akan datang.
Pertama, NU di Sleman memilih netral secara kelembagaan dan meminta pengurus-pengurusnya hingga level terendah menjauhi hiruk pikuk pemilihan bupati yang akan datang. Pilihan ini nampaknya cukup sulit terealisasi mengingat NU akan kesulitan memastikan instruksinya dipatuhi ditengah semakin tingginya sikap pragmatis di kalangan warganya.
Kedua, NU melakukan politik kamuflase dengan cara bersikap netral di permukaan namun melakukan operasi senyap untuk mendukung pasangan tertentu. Opsi ini telah dilakukan oleh PCNU Sleman dengan membentuk Tim 9 yang ditugaskan menangani hal-hal yang berkaitan dengan politik, bahkan pada awal April 2015 Tim 9 telah merekomendasikan bahwa NU Sleman mencalonkan Drs. Nurjamil Dimyati Ketua PCNU sebagai calon wakil bupati Sleman 2015-2020. Strategi kedua ini jamak dilakukan terutama untuk mensiasati potensi tudingan publik bahwa NU melanggar khittah 1926, dan jika terjadi kekisruhan politik maka sudah disiapkan “kambing hitam” nya yaitu Tim yang dibentuk NU. Pendek kata, meski para pengurusnya berjumpalitan sebagai salah satu timsukses pasangan namun publik sepertinya dipaksa menerima klaim bahwa NU tetap netral.
Ketiga, NU bergerak secara aktif mendukung salah satu pasangan calon melalui mekanisme dan prosedur penjaringan aspirasi yang demokratis dan terbuka dengan melibatkan ranting, MWC dan badan otonom yang ada di kepengurusan NU. Meski bukan satu-satunya faktor yang mampu memenangkan cabup/cawabup namun strategi ini
terbukti berhasil meloloskan Ki Enthus Susmono menjadi bupati Tegal pilkada 2013 lalu. Ijtihad politik NU Tegal dalam pilkada tersebut merupakan sinyal bahwa kemenangan harus direbut karena ia tidaklah diberikan begitu saja secara gratis.
Terlepas dari subyektifitas atas realitas politik yang ada, keseluruhan opsi-opsi tadi mempunyai landasan pijak yang kokoh baik menurut konstitusi NU maupun ragam kesejarahan yang mengiringi perjalanan NU khususnya di Kabupaten Sleman. Wallahu a'la