POTENSI PAD DARI WISATA RELIGI DI KABUPATEN SLEMAN

- March 31, 2019


Sebagaimana diusulkan penulis dalam raperda Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (RIPK) kabupaten Sleman tahun 2015-2025 melalui fraksi PKB pada rapat paripurna penyampaian pandangan umum fraksi DPRD kabupaten Sleman tanggal 20 Agustus 2015 yang baru lalu, tentang wisata religi. Belakangan ini disadari bahwa wisata religi menjadi tren baru yang digandrungi banyak orang. Entah siapa yang mencetuskan dan mempopulerkan istilah itu, yang jelas secara tiba-tiba istilah “wisata religi” menjadi semacam kesepakatan yang tak terkatakan dan menjadi istilah generik, yang diakui berbagai kalangan, mulai dari para birokrat, politisi, tokoh-tokoh masyarakat, pelaku bisnis, penyedia armada wisata, pengelola kawasan ziarah wali, dan masyarakat umum, baik pedesaan maupun perkotaan.

Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan wisata religi itu? Dari penamaan ini, tampak jelas bagi kita bahwa wisata religi adalah wisata ke suatu tempat yang mempunyai 'makna' dan dimaksudkan untuk memperkaya wawasan keagamaan dan memperdalam rasa spiritual kita. Karena bagaimanapun, ini adalah perjalanan keagamaan yang ditujukan untuk memenuhi dahaga spiritual, agar jiwa yang kering kembali basah oleh hikmah-hikmah religi. Jadi wisata religi bukan wisata biasa yang hanya dimaksudkan untuk bersenang-senang, pemuasan syahwat, menghilangkan kepenatan pikiran, semacam dengan pergi ke tempat hiburan.

Dengan demikian, maka semestinya tujuan wisata religi tidaklah sempit, namun memiliki cakupan yang sangat luas, dan sifatnya cukup personal. Artinya tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata religi tidak terbatas pada makam-makam para wali saja, namun mencakup setiap tempat yang bisa menggairahkan cita rasa religiusitas kita, atau bisa menyegarkan dahaga spiritual kita, baik itu pemakaman para wali, tempat ibadah, museum-museum kesejarahan Islam, tempat-tempat bersejarah, atau tempat apapun yang bisa menyampaikan kita pada tujuan yang dikehendaki dalam wisata religi itu. Tergantung kecendrungan kejiwaan masing-masing orang.

Dalam konteks Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (RIPK) kabupaten Sleman tahun 2015-2025 utamanya pada strategi pembangunan destinasi kabupaten Sleman disebutkan bahwa pembangunan kawasan daya tarik wisata hanya menyebutkan 3 (tiga) daya tarik wisata alam, wisata budaya dan wisata hasil buatan manusia. Strategi pembangunan destinasi inilah yang perlu dikritisi karena 'melupakan' wisata religi yang merupakan salah satu potensi yang ada di kabupaten Sleman. Sebagaimana diketahui wisata religi merupakan kegiatan wisata ke suatu tempat yang memiliki makna khusus, di kabupaten Sleman sendiri memiliki beberapa destinasi yang masuk dalam kategori wisata religi diantaranya adalah:

Makam Kyai Nuriman Mlangi

Nama Mlangi yang berada di desa Trihanggo kecamatan Gamping kabupaten Sleman ini tak lepas dari sosok Kyai Nur Iman yang sebenarnya adalah kerabat Hamengku Buwono I, bernama asli Pangeran Hangabehi Sandiyo. Kisahnya, Nur Iman yang sudah lama membina pesantren di Jawa Timur diberi hadiah berupa tanah oleh Hamengku Buwono I. Tanah itulah yang kemudian dinamai 'mlangi', dari kata bahasa Jawa 'mulangi' yang berarti mengajar. Dinamai demikian sebab daerah itu kemudian digunakan untuk mengajar agama Islam. Salah satu peninggalan bersejarah dusun Mlangi ini adalah Masjid Jami' yang juga merupakan salah satu dari 5 (lima) Masjid Pathok Negoro kagungan ndalem Kraton Yogyakarta. Masjid Jami' Mlangi merupakan bangunan paling legendaris di dusun ini karena dibangun pada masa Kyai Nur Imanatau Pangeran Sandiyo, sekitar tahun 1760-an. Meski telah mengalami renovasi dan beberapa perubahan, arsitektur aslinya masih dapat dinikmati. Diantaranya adalah gapura masjid dan dinding sekitar masjid yang didesain seperti bangunan di lingkungan kraton. Di dalam masjid yang oleh warga sekitar disebut "Masjid Gedhe" itu juga tersimpan sebuah mimbar berwarna putih yang digunakan sejak Kyai Nur Iman mengajar Islam.

Makam Kyai Nur Iman berada dibelakang bangunan masjid dan dapat dijangkau dengan melewati jalan di sebelah selatan masjid atau melompati sebuah kolam kecil yang ada di sebelah tempat wudlu. Makam itu terletak di sebuah bangunan seperti rumah dan dikelilingi cungkup dari bahan kayu. Makam itu selalu ramai sepanjang tahun, terutama pada tanggal 15 Suro yang merupakan tanggal wafatnya Kyai Nur Iman dan bulan Ruwah. Hanya pada bulan ramadan saja makam itu agak sepi. Biasanya, para peziarah membaca surat-surat Al-Qur'an dengan duduk di samping atau depan cungkup makam.

Berkeliling ke dusun Mlangi, kita dapat menjumpai setidaknya 10 pesantren salaf yang sering disebut juga dengan pesantren tradisional. Diantaranya, sebelah selatan masjid pesantren As-Salafiyah, sebelah timur Al-Huda, dan sebelah utara Al-Falakiyah. Pesantren As-Salafiyah merupakan yang paling tua, dibangun sejak 5 Juli 1921 oleh K.H. Masduki. Mulanya, As-Salafiyah bukanlah pesantren, hanya komunitas yang belajar agama di sebuah mushola kecil. Komunitas itu lantas berkembang menjadi pesantren karena banyak yang berminat. Meski bangunannya tak begitu besar, pesantren ini memiliki 300-an santri dan menggunakan metode mengajar yang tak kalah maju dengan sekolah umum.

Keakraban penduduk dengan Islam bukan sesuatu yang dibuat-buat. Buktinya dapat dilihat dari cara berpakaian penduduk. Di Mlangi, para lelaki biasa memakai sarung, baju muslim, dan peci meski tidak hendak pergi ke masjid. Sementara hampir semua perempuan di dusun ini mengenakan jilbab di dalam maupun di luar rumah. Pengamalan ajaran Islam seolah menjadi prioritas bagi warga Mlangi. Konon, warga rela menjual harta bendanya agar bisa naik haji.

Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning didirikan di atas tanah kasultanan seluas 2.500 meter persegi. Bangunan masjid pada saat didirikan seluas 288 m2 dan setelah pengembangan menjadi 328 m2. Di antara kelima masjid Pathok Negara milik Kraton Yogyakarta, Masjid Pathok Negara “Sulthoni” di Plosokuning adalah bangunan yang paling terjaga kelestariannya. Masjid Pathok Negoro mempunyai ciri beratap tajuk dengan tumpang dua. Mahkota masjid juga mempunyai kesamaan yakni terbuat dari tanah liat dan atap masjid terbuat dari sirap. Perbedaan jumlah tumpang menandakan bahwa masjid pathok negoro lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan masjid Agung Yogyakarta yang mempunyai atap tajuk bertumpang tiga. Ciri-ciri lain dari kekhasan masjid Pathok Negoro ini adalah pada masing-masing masjid terdapat kolam keliling, pohon sawo kecik dan terdapat mimbar yang ada di dalam masjid.

Keaslian Masjid pathok Negoro Plosokuning dapat terlihat pada bagian atap dimana di atasnya terdapat mahkota gada bersulur yang terbuat dari tanah liat yang sampai sekarang masih terpasang di puncak atap masjid. Dulu, penutup atap masjid menggunakan sirap namun atap sirap ini kemudian diganti dengan genteng pada tahun

1946.

Semua perbaikan dan penggantian bangunan pada masjid, terlebih dahulu dimintakan persetujuan dari Sinuhun Kanjeng yang berada di kraton, baik mengenai bentuk dan modelnya. Beberapa tahun terakhir, takmir masjid mengadakan perbaikan dan penambahan ruang yang ada di samping kanan dan kiri masjid. Hal ini bertujuan agar kegiatan pengajian dan tadarus dapat berlangsung nyaman sekaligus untuk menambah shaf putri. Pada ruang dalam masjid terdapat tiang-tiang yang berfungsi sebagai penahan konstruksi atap. Semua tiang penyangga ini sebagian besar masih asli dan terbuat dari kayu jati.

Di dalam masjid, terdapat mimbar tua yang terbuat dari kayu jati dengan ornamen pada pegangan mimbar. Mimbar ini juga dilengkapi dengan sebuah tongkat yang dipakai oleh khatib pada saat memberikan khotbah yang sampai sekarang masih digunakan. Masjid ini juga masih menganut adat lama dimana adzan pada saat sholat Jum’at dilakukan 2 kali. Dahulu sekitar tahun 1950 adzan pertama dilakukan oleh lima orang sekaligus dan adzan kedua dilakukan salah seorang dari mereka. Begitu juga dengan khotbah dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab. Baru pada tahun 1960 adat tersebut berubah, muadzin yang semula berjumlah 5 orang menjadi 2 orang, tetapi adzan tetap dilakukan 2 kali. Khotbah juga diganti dengan menggunakan bahasa Jawa. Pada bagian pintu gerbang, masjid ini memiliki pintu gerbang yang berundak. Pada tiga undakan pertama berarti Islam itu terdiri dari 3 elemen yakni Iman, Islam dan ikhsan. Pada 5 undakan kedua menunjukkan bahwa rukun Islam itu ada 5 sedangkan pada 6 undakan ketiga menunjukkan bahwa rukun iman itu ada 6.

Pada momen-momen tertentu, di masjid ini juga dilaksanakan kegiatan keagamaan yang diikuti oleh keluarga kraton, semisal tradisi Bukhorenan. Tradisi ini sudah menjadi bagian dari tradisi keraton yang lestari hingga sekarang. Maksud dan tujuannya tidak lain adalah untuk mengkaji ajaran dan tuntunan Nabi dengan membaca dan memahami hadist-hadist yang terdapat dalam Sahih Bukhari.

Kedua destinasi wisata religi tersebut di atas baik makam Kyai Nur Iman di Mlangi mapun Masjid Pathok Negoro di Ploso Kuning kondisinya saat ini belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah, terlihat dari fasilitas yang tersedia terkesan apa adanya. Padahal destinasi tersebut kalau dikelola secara optimal akan menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) alternatif selain wisata-wisata konvensional yang ada di kabupaten Sleman. Perhatian yang besar dari pemerintah daerah sangat diharapkan

terutama penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang seperti tempat parkir, transportasi, outlet souvenir, toilet dll.

Kesimpulan

Obyek wisata religi makam Kyai Nur Iman Mlangi dan Masjid Pathok Negoro Plosokuning memiliki keunggulan dan Unique Selling Point sumber daya lokal yang berbeda dari desa wisata lain yang dimiliki oleh Kabupaten Sleman yakni terletak pada sejarah dan religi. Hanya saja dibutuhkan kerjasama antar stake holder khususnya pemerintah daerah dan kesadaran warga setempat untuk bersama-sama menjaga, melestarikan dan juga mempromosikan desa wisata religi Mlangi dan Plosokuning ini sebagai wisata religi yang baik dan layak dan sayang jika terlewatkan untuk dikunjungi. Disamping itu peningkatan fasilitas umum seperti MCK, warung makan, toko souvenir khas setempat, petunjuk jalan dan narasi yang menginformasikan tentang obyek desa wisata religi Mlangi dan Plosokuning untuk lebih di maksimalkan demi kepuasan pasar, mengingat pasarnya adalah wisatawan minat khusus.

* Wiratno,SE.MM

Pengurus PCNU Kab. Sleman