Karut-marut BPJS Kesehatan

- March 29, 2021


Oleh: Wiratno, SE.,MM

Tenaga Ahli FPKB

DPRD Kabupaten Sleman

Rencana kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada awal tahun 2020 untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) atau biasa disebutpeserta mandiri sangat mengecewakan. Para peserta mandiri BPJS Kesehatan seperti pelaku UMKM, petani,wiraswasta, dan kelompok profesi lainnya menggugat kenaikan iuran yang tertuang dalam Perpres No 19 tahun 2016tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Kenaikan iuran tersebut dan masih buruknya layanan BPJS Kesehatan, maka kategori peserta mandiri diprediksi semakin banyak akan mengundurkan diri karena tidak sanggup membayar premi untuk seluruh anggota keluarga.Kenaikan iuran merupakan langkah kontraproduktif saat diusahakan menambah peserta PBPU. Mestinya pemerintah memberi perhatian khusus terhadap PBPU yang sangat sensitif. 

Hal itu terlihat angka gagal mengiur PBPU selama ini sangat besar. Begitu pula secara nasional persentase total PBPU masih kecil. Pemerintah tidak perlu menambah anggaran PBI. Dalam Perpres No 19 tahun 2016 iuran PBPU dinaikkan untukkelas III dari 25.500 rupiah per orang per bulan menjadi 30.000. Untuk kelas II meningkat dari 42.500 per orang perbulan menjadi 51.000. Sedang kelas I bertambah dari 59.500 per orang per bulan menjadi 80.000. Masyarakat menentang kenaikan mulai 1 April 2016 ini karena belum disosialisasikan. Masyarakat memiliki asumsi,besaran iuran

berdasarkan perhitungan jumlah penduduk dan , kewajiban seluruh warga mengiur adalah tahun 2019,sehingga sampai tahun 2019 terus terjadi defisit.Komunikasi BPJS Kesehatan tidak baik karena tak ada roadmap defisit sampai 2019 dan yang menalangi. Ini ndakterinci dengan jelas. Seharusnya sampai tahun 2019, defisit ditalangi negara, jangan dibebankan kepada rakyat apalagi hingga kini pelayanan BPJS masih buruk. Akibatnya banyak perusahaan menggunakan asuransi kesehatanlain.Masalah krusial lain adanya disparitas biaya pengobatan antara standar yang diberlakukan oleh Menteri Kesehatandengan biaya faktual dilapangan. Pemerintah belum berhasil dalam menerapkan standar biaya pengobatan penyakit,sehingga ada dokteryang merasa dibayar terlalu kecil oleh BPJS Kesehatan. Sebagian besar Rumah Sakit diIndonesia, dijadikan lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dengan fakta fakta tersebut diatas,seharusnya Pemerintah membenahi dahulu seluruh permasalahan tersebut sebelum menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Mis manajemen

Masyarakat melihat kondisi carut-marut BPJS Kesehatan yang terjadi mismanajemen. Hal itu terlihat BPJSKesehatan mengalami defisit 5,85 triliun pada 2015. Mismanajemen juga menyangkut alokasi anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI). Di mana untuk APBN-P 2015 alokasi PBI 20,3 triliun. Angka tersebut didasarkan pada cakupan penduduk miskin 88,2 juta jiwa dengan nilai PBI sebesar 19.225 perbulan per orang setahun. Data cakupan tersebutmasih tumpang tindih. Ada kerancuan, sehingga data tidak akurat dan rawan penyelewengan.Pada penghujung 2015 ada beritamemilukan. Seorang karyawan PT Dirgantara Indonesia (PT

DI) ditemukan tewas dikamar mandi di gedung Fix Wing lantai IV. Lehernya terlilit tali yang menggantung di kusen bagian atas pintu kamar mandi pada saat jam kerja. Dia menggantung karena putus asa karena penyakitnya asam urat, diabetes, dan darah tinggi. Yang bersangkutan frustrasi lantaran mendapat perawatan kesehatan kurang layak. Pada era BPJS Kesehatan temyata karyawan industri pesawat terbang saja belum mendapat fasilitas kesehatan memadai. Bagaimana dengan perusahaan kecil lain yang tidak melibatkan teknologi canggih.Sangat beralasan, rakyat menuntut segera dibenahi total. Terkait dengan aspek ketenagakerjaan, kini iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan perusahaan banyak sia-sia karena buruh tidak mau layanan fasilitas kesehatan tingkatpertama sangat buruk. Dengan demikian perusahaan terpaksa membuat layanan kesahatan lainnya. Hal itu terjadipada perusahaan yang tergabung dalam grup Toyota. Ironisnya pengelola BPJS Kesehatan mengklaim rugi 5,85 triliun rupiah tahun ini Ini sangat ganjil. Ini diduga adamodus korupsi dan manipulasi. Apalagi sistem klaim dari pelaksana faskes tingkat pertama hingga rumah sakitsangat mudah dimanipulasi. Beberapa perusahaan yang terpaksa membayar dua skema jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan dan asuransi lain), namun karena buruknya pelayanan BPJS Kesehatan di tingkat bawah, maka kaumburuh tidak mengambil pelayanan tersebut. Dengan demikian iuran buruh dan perusahaan menjadi sia-sia.Buruh menuntut agar fasilitas kesehatan tingkat pertama (faskes I) dengan pelayanan bermutu diarahkan ke perusahaan atau kawasan permukiman kaum buruh. Sebisa mungkin diperbanyak dokter perusahaan ataupoliklinik berkualitas dengan pelayanan prima.Saat ini jumlah dokter dan poliklinik fasilitas BPJS di daerah sangat sedikit Bahkan poliklinik yang ditunjukrata-rata kondisisnya buruk dan tidak

buka 24 jam. Sabtu dan Minggu tutup. Presiden Joko Widodosebaiknya segera membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan kategori PBPU dan menutup defisit dengan APBN. Pemerintah juga meningkatkan alokasi anggaran untuk PBI. Sekarang buruh merupakan segmen masyarakat rentan gangguan kejiwaan. Ancaman PHK, sistem outsourcing, himpitan beban kerja, diskriminasi, kurang memadainya besaran UMR dan bencana alammerupakan faktor dominan pemicu stres. Mereka juga depresi dan mengalami banyak gangguan kejiwaanlainnya.Gangguan kejiwaan yang menimpa kaum buruh sering terabaikan. Ada baiknya program dan layanan BPJS Kesehatan juga difokuskan membangun pusat rehabilitasi mental dan kesehatan jiwa para pekerja.